Jangan Buat Ramadhan Kecewa
Friday, May 3, 2019
Menjelang
Ramadhan tiba, Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabatnya, "Sungguh,
Ramadhan telah datang, dan ia adalah penghulu segala bulan (sayyid asy-syuhur).
Ia datang membawa berkah, maka sambutlah ia (fa marhaban bih)."
Di
akhir hadis, Nabi SAW mengistilahkan penyambutan atas Ramadhan dengan marhaban.
Kalau ditilik maksud atau artinya, marhaban tidak jauh berbeda dengan kata
ahlan wa sahlan, yakni selamat datang.
Lantas,
mengapa tidak 'fa ahlan wa sahlan bih' saja? Bukankah artinya sama? Mengapa 'fa
marhaban bih'? Ternyata ada penekanan mendasar, mengapa Rasul menggunakan
marhaban untuk menyambut Ramadhan.
Marhaban
(kata benda asal) berasal dari rahiba-yarhabu-rahban-marhaban, yang (memang)
punya makna 'menyambut' yang serupa maknanya dengan istilah ahlan wa sahlan.
Namun,
penyambutan di sini dalam konteks, para penyambut jauh-jauh hari sudah
mengetahui, ada sosok yang akan datang sehingga perlu kita sambut selayaknya
tamu.
Lain
halnya dengan ahlan wa sahlan. Ungkapan penyambutan ini kita sampaikan ketika
saat kedatangan sang tamu tidak diduga sebelumnya. Ia datang secara tiba-tiba,
muncul begitu saja.
Maka,
apa yang mesti kita lakukan ketika jauh-jauh hari sudah mengetahui sosok tamu
agung itu? Tentu saja, kita harus mempersiapkan segalanya semaksimal mungkin.
Hal
ini dilakukan agar layanan kita bisa memuaskan, sehingga ketika sang tamu pamit
ia akan mempunyai kesan yang baik tentang kita. Berkenaan dengan penyambutan
tamu agung bernama Ramadhan itu, kiranya ada empat sikap yang seyogianya kita
tampilkan.
Pertama,
mempersiapkan diri kita, baik secara mental spiritual, maupun fisik. Karena
itu, bagaimana pun juga, ibadah Ramadhan adalah ibadah yang berkaitan dengan
laku lahir dan batin, laku tubuh dan hati.
Kedua,
berusaha mengekang diri dari segala kecenderungan negatif. Inti puasa adalah
menahan diri dari segala nafsu duniawi, baik yang kecil maupun yang besar, yang
berkaitan dengan nikmat badani (makan, minum, dan seks), maupun rohani
(penyakit-penyakit hati).
Ketiga,
memaksimalkan aktivitas malam hari bulan Ramadhan dengan ibadah-ibadah sunah,
seperti shalat qiyam al-lail (tarawih) dan tadarus. Ketika di siang hari, badan
kita barangkali lemah sehingga kegiatan ibadah yang bisa kita lakukan cuma yang
wajib, yakni puasa. Nah, di malam hari, badan kita kuat, sehingga sangat
kondusif untuk melakukan ibadah-ibadah sunah. Tentunya, itu jika stamina tubuh
pada malam hari tetap terjaga.
Keempat,
melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya, sebagaimana di hari-hari di
bulan lain Ramadhan. Jangan sampai karena Ramadhan, kondisi tubuh tidak sekuat
di hari-hari lain, aktivitas sehari-hari malah menurun. Harus kita ingat,
aktivitas apa pun yang kita lakukan, asalkan diniatkan ikhlas karena Allah,
akan bernilai ibadah.
Di
bulan Ramadhan semua aktivitas ibadah diganjar dengan pahala ratusan kali
lipat. Jadi, mengapa disia-siakan? Mengapa nanti siang hari kala Ramadhan,
misalnya, hanya diisi dengan bermalas-malasan dan tidur?
Insya
Allah, dengan empat resep tadi kita akan bisa menggapai berkah yang dibawa
Ramadhan.
Mari
kita sikapi Ramadhan dengan penyambutan yang benar dan penuh takzim. Jangan
buat kecewa tamu agung itu, Ramadhan.
Wallahu a'lam.
Baca juga: Menyiapkan Bekal Bulan Suci
Sumber: Republika
Artikel lainnya: Jurnal Islampedia