Memaknai Akidah Tauhid
Thursday, May 2, 2019
Dari
segi bahasa, akidah berakar pada kata aqada-ya’qidu ‘aq dan wa aqidah yang
berarti mengikat (as-syadd), berjanji (al-ahd), membenarkan (al-tashdiq),
kemestian (al-luzum), dan kepastian (al-ta‘kid). Atas dasar makna leksikal
inilah, akidah dalam Islam dimaknai sebagai keimanan atau keyakinan yang pasti
(tidak ada keraguan sedikit pun) kepada masalah-ma salah gaib dan dasar-dasar
ajaran Islam (ushuluddin) yang diberitakan oleh ayat-ayat Alquran dan
hadishadis sahih. Akidah Islam tercermin dalam rukun iman (iman kepada Allah,
malaikat, Rasul, kitab, hari akhir, qadha dan qadar).
Esensi
akidah Islam adalah tauhid, diformulasikan dalam dua kalimat syahadat, asyhadu
an la ila illa Allah; wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Akidah yang tidak
sesuai dengan la ilaha illa Allah berarti menyimpang dari akidah Islam. Karena
itu, Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, antara lain, untuk melurus kan
akidah umat terdahulu yang sudah mengalami pe nyimpangan, seperti anggapan
kalangan Yahudi bahwa Uzair itu anak Allah dan keyakinan kaum Nasrani bahwa
Nabi Isa AS itu anak Allah, padahal Isa itu putra Maryam.
Berakidah
tauhid pada dasarnya merupakan fitrah manusia karena ketika di alam arham semua
manusia pernah berjanji setia dan berkomitmen kepada Allah untuk bertauhid:
mengenal dan mengesakan Allah. Sejak ruh ditiupkan pada dirinya, manusia telah
memiliki sifat lahut (ketuhanan) sehingga ia selalu berusaha mendekati-Nya.
Selain itu, manusia memiliki ketergantungan dan kebutuhan spiritual kepada-Nya
karena manusia tidak bisa hidup tanpa pertolongan-Nya. Manusia juga membutuhkan
petunjuk dan peta jalan kehidupan yang benar, baik, indah, dan membahagiakan
karena ia merupakan bagian integral dari makrokosmos ciptaan Allah.
Akidah
tauhid harus dimaknai secara komprehensif dan menjadi komitmen teologis Muslim
se bagaimana tercermin dalam “Iyyaka na’budu wa iyya ka nas’ta’in” (Hanya
kepada Engkau kami beribadah, dan hanya kepada Engkau pula kami memohon
pertolongan). Komitmen berimplikasi mendasar bahwa Muslim tidak boleh melakukan
“perselingkuhan teologis” (syirik). Misalnya saja, kita rajin shalat, tetapi
dalam waktu bersamaan kita masih percaya kepada selain-Nya, seperti
tempattempat yang diyakini kramat, klenik, benda-benda tertentu yang diyakini
bias membawa peruntungan, dan sebagainya.
Akidah
tauhid juga dapat menentukan hubungan antara hamba dan Tuhannya, baik dari segi
makrifat, tauhid, maupun ibadah. Kebahagiaan hidup di dunia ini dapat terwujud
jika dilandasi pengetahuan tentang Allah, kebutuhan hamba kepada Allah harus
melebihi segala kebutuhannya kepada yang lain. Makrifat (mengenal dan memahami)
Allah merupakan sumber ketenangan dan kedamaian hati. Akidah tauhid juga
membuat orientasi hidup Muslim jelas, terarah, dan mantap, tidak bimbang,
ragu-ragu, dan setengah-setengah.
Dengan
de mikian, ber akidah tauhid (mengikatkan iman dalam hati, pikiran, lisan, dan
perbuatan hanya kepada Allah), perlu dibuktikan dengan amal shalih dengan
dilandasi oleh ilmu yang memadai. Iman tanpa ilmu tidak akan membuahkan amal.
Wallahu a’lam bish shawab.
Baca juga: Kesadaran Beramal Saleh
Sumber: Republika
Artikel lainnya: Jurnal Islampedia