Pesan Moral Ibadah Puasa Ramadhan
Tuesday, April 30, 2019
Pada sebagian masyarakat Indonesia, ada
tradisi munggahan ketika menyambut bulan suci Ramadhan. Tradisi tersebut penuh
kearifan dan makna sebagai bentuk kesyukuran karena diberikan umur panjang dan
kebahagiaan menyongsong datangnya Ramadhan, sekaligus menunjukkan kesiapan
fisik dan mental untuk berpuasa agar bisa naik (monggah) derajatnya di sisi
Allah SWT.
Kalau kita perhatikan, dalam kurun waktu
11 bulan, sebagian besar waktu dan tenaga kita lebih diprioritaskan untuk
memenuhi kebutuhan fisik dibanding rohaniah kita. Dari bangun tidur sampai mau
tidur lagi, kita sibuk dengan urusan duniawi, mulai urusan bisnis, ekonomi,
politik, dan sebagainya. Akan tetapi, kita sering alpa dengan kebutuhan
rohaniah kita.
Maka, pada bulan Ramadhan ini bagaimana
kita dapat memberikan porsi (perhatian) yang semestinya akan dimensi rohanianya
agar kembali seimbang antara dimensi jasmaniah dan rohaniah. Dengan demikian
maka ibadah puasa menjadi semacam media untuk "menyeimbangkan"
kehidupan kita agar kembali ke jati diri (fitrah) kemanusiaan kita sekaligus
kita berproses dan naik (monggah) menuju
derajat takwa. (QS al-Baqarah: 183).
Sebagai media untuk mencapai derajat
ketakwaan, ibadah puasa sarat dengan pesan moral, baik yang berhubungan dengan
Allah (hablun minallah) maupun manusia
(hablun minannas). Berbagai pesan moral tersebut harus disadari, dipahami,
serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari agar kita mampu melakukan
perbaikan di seluruh dimensi kehidupan.
Secara syar'i, puasa bermakna menahan diri
dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa (al-imsak 'anil mufthirat), yaitu
makan, minum, dan melakukan hubungan suami istri sejak terbit fajar sampai
terbenamnya matahari karena Allah SWT. Tata cara berpuasa sebagaimana ketentuan
syariah di atas pada dasarnya merupakan simbol pengendalian diri manusia dari
hal-hal yang menjadi kecendrungan hawa nafsu (al-imsak 'amma tunazi'u ilaihi
an-nafs) dalam arti seluas-luasnya.
Artinya, di samping menahan diri dari
makan, minum, dan melakukan hubungan suami istri sebagai syarat formal sahnya
puasa sebagaimana ketentuan syariat, tetapi bagaimana kita menahan diri dari
berbagai hal yang menjadi kecendrungan nafsu secara lebih luas.
Kalau kita renungkan, sejatinya makan,
minum, dan melakukan hubungan suami istri merupakan hal yang boleh (mubah),
bahkan dalam batas-batas tertentu "sunah". Namun, selama Ramadhan,
sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari ketiga hal tersebut dilarang
dilakukan. Hal ini memberikan pesan moral kepada kita.
Pertama, manusia tidak mempunyai hak mutlak
terhadap dirinya apalagi terhadap yang lain dan yang memiliki hak mutlak
hanyalah Allah SWT. Kedua, Allah SWT ingin menguji hamba-Nya, apakah ia patuh
akan perintah Allah atau patuh terhadap bisikan nafsu.
Bayangkan, terhadap hal-hal yang sejatinya
halal, kalau Allah berkehendak melarangnya, harus kita patuhi, apalagi terhadap
hal-hal yang nyata-nyata haram, maka wajib kita menjauhinya karena bagi
setiap orang yang beriman kepada Allah ketika diperintahkan oleh-Nya harus
patuh dan tidak ada opsi memilih terhadap perintah Allah tersebut. (QS
al-Ahzab: 36).
Ibadah puasa juga merupakah ibadah rahasia
(sirriyah) sebab yang tahu kalau kita sedang berpuasa hanya Allah dan kita.
Pada saat kita berpuasa kita merasakan kehadiran akan eksistensi Allah SWT. Kesadaran
demikian akan membuahkan sikap ihsan sehingga akan selalu berbuat baik dan
menjauhi larangannya karena merasa dilihat oleh Allah (anta'budallah kaannaka
tarahu, faillam rakun taraahu fainnahu yaraaka).
Maka, pesan moral yang kita dapatkan dalam
berpuasa adalah membentuk sikap jujur dan disiplin. Oleh karena itu, wajar
orang yang sedang berpuasa tidak berani sedikit pun melanggar ketentuan
berpuasa, misalnya, minum meskipun ada kesempatan (seperti saat berwudhu),
ibu-ibu yang sedang memasak persiapan buka puasa tidak berani makan meskipun
ada kesempatan karena merasakan kehadiran akan eksistensi Allah SWT.
Pada saat kita sedang berpuasa kita juga
merasakan lapar dan haus. Padahal, bagi sebagian orang, asupan gizi pada saat
berbuka puasa dan bersahur lebih lengkap dan lebih baik, tapi toh tetap
merasakan lapar dan harus. Pesan moral yang kita dapatkan adalah bagaimana
merasakan penderitaan orang lain. Oleh karena Rasulullah SAW memerintahkan kita
untuk banyak berbagi, berinfak, bersedekah, termasuk menyiapkan makan bagi
orang yang berpuasa.
Dalam konteks kehidupan sosial
kemasyarakatan, semangat berbagi itu penting, apalagi di tengah-tengah kondisi
masyarakat masih banyak yang miskin serta ketimpangan sosial yang cukup tinggi.
Kita menyadari, tidak semua penduduk Indonesia beruntung menikmati kekayaan
alam yang melimpah, ada yang sangat kaya (raya), tetapi banyak juga yang
miskin, bahkan sangat miskin (fakir). Oleh karena itu, semangat berbagi, terutama saat Ramadhan yang penuh
berkah ini penting dilakukan dan ditingkatkan.
Semoga, puasa pada bulan Ramdhan nanti
menjadi puasa terbaik untuk kita. Kita dapat memahami dan melaksanakan pesan
moral ibadah puasa yang kita lakukan, sehingga kita menjadi hamba Allah yang
muttaqin. Amin.
Baca juga: Menyiapkan Bekal Bulan Suci
Sumber: Republika
Artikel lainnya: Jurnal Islampedia