Buruh dalam Pandangan Islam: Merujuk pada Kuntowijoyo
Wednesday, May 1, 2019
Sejarah
buruh di dunia memang tak lepas dari isu penindasan. Tema eksploitasi atas kaum
pekerja terus meningkat sejak kemunculan sistem kapitalisme global, yang
bertumpu pada penggunaan uang kertas.
Berbagai
paham mencoba menyuarakan nasib kaum pekerja. Ambil contoh, anarkisme yang tak
bisa serta-merta disamakan dengan ‘kekacauan.’ Merujuk Peter Marshall dalam
Demanding the Impossible: History of Anarchism, paham tersebut mengemuka ketika
sekumpulan orang menghendaki pemerintahan sendiri, yang lepas dari cengkeraman
minoritas yang berkuasa.
Selanjutnya,
gerakan sosialisme dan komunisme. Semua itu menginginkan kondisi masyarakat
yang bebas dari ekses buruk kapitalisme.
Pada
1 Mei 1886, aksi buruh dalam skala masif terjadi di Amerika Serikat. Lebih dari
300 ribu orang turun ke jalan untuk menuntut jam kerja yang lebih adil bagi
buruh dan pelbagai hak-hak manusiawi. Beberapa hari kemudian, para pemimpin
aksi itu ditangkapi aparat setempat. Korban jiwa berjatuhan lantaran
demonstrasi berubah jadi kericuhan.
Pada
Juli 1889, Kongres Sosialis Dunia di Paris, Prancis, menetapkan 1 Mei sebagai
Hari Buruh Sedunia. Peringatan momen tersebut sampai kini berlangsung rutin di
banyak negara, termasuk Indonesia. Bahkan, sejak 2014 pemerintah kita
menjadikan May Day—demikian istilahnya—sebagai hari libur nasional.
Bagaimana
Islam Memandang Buruh?
Pandangan
Islam terhadap kaum buruh atau pekerja bertolak dari keyakinan, antara majikan
dan kaum tersebut bertujuan selaras. Kedua belah pihak ingin meraih
kemaslahatan dalam hidup di dunia dan akhirat. Buruh bagi seorang pemilik
perusahaan semestinya dipandang sebagai rekan menggapai kesejahteraan dan
ketentraman hidup.
Pusat
perhatian buruh biasanya pada upah. Dalam sebuah hadits riwayat Mustawrid bin
Syadad, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menjadi pekerja bagi kita,
hendaklah ia mencarikan istri
(untuknya); seorang pembantu bila tidak memilikinya. Bila ia tidak
mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal.”
Abu
Bakar ash-Shiddiq menuturkan, “Aku diberi tahu bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda, ‘Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah seorang yang
keterlaluan atau pencuri.’” Dari hadits riwayat Abu Daud itu, secara ringkas
berarti Islam memandang upah tak sekedar uang.
Islam
melihat upah untuk buruh dalam kerangka moral. Esensi upah juga berdimensi
ukhrawi karena berkaitan dengan pahala dan ridha Ilahi. Hal inilah yang
cenderung membedakan perspektif Islam daripada isme-isme yang bermunculan di
Barat.
Hanya
saja, masih terdapat poin-poin persamaan. Misalnya, Islam pun memandang penting
dua prinsip ini soal upah: keadilan dan kelayakan.
Perbedaan
upah diperbolehkan sepanjang memenuhi aspek keadilan. Dengan begitu, adanya
pembedaan dapat dipandang layak. Misalnya, seorang yang berpendidikan tinggi
dengan kemampuan manajerial yang mumpuni. Ia wajar mendapatkan bayaran yang
lebih tinggi daripada seorang pekerja di lapangan dengan beban pekerjaan yang
tak kompleks.
Beda
Islam dan Marxisme Soal Kelas Sosial
Satu
hal penting lainnya. Paradigma Islam berbeda dengan marxisme atau komunisme
dalam memandang masyarakat sosial. Mengutip sejarawan Islam (alm) Kuntowijoyo,
marxisme menganggap kesadaran kelas sosial sebagai sesuatu yang penting.
Pertentangan
antarkelas terjadi sedemikian rupa sehingga kelas buruh mengalahkan atau bahkan
menghapus sama sekali kelas pemodal (borjuis). Karl Marx antara lain meramalkan
hal itu, sekalipun sampai hari ini ramalannya tak kunjung terwujud.
Mengapa
perlu dipertentangkan antarkelas sosial? Semua itu karena Marx menilai,
kesadaran manusia ditentukan kondisi-kondisi materiilnya. Dalam era kapitalis,
kaum borjuis memiliki alat-alat produksi, sehingga dapat menindas kaum buruh.
Marx mengimpikan, kaum buruh dapat merebut alat-alat produksi dari kalangan
yang berjumlah minoritas itu, sehingga sosialisme yang dinubuatkannya terjadi.
Sebaliknya,
dalam Islam, tak mesti kaum pemodal dan buruh dipertentangkan secara vis-a-vis.
Kuntowijoyo
menggarisbawahi, kesadaran manusia tidak ditunjang kondisi materil, melainkan
terutama keimanan. Seseorang bisa saja menjadi insan yang berkemajuan (baca:
beriman), sekalipun hidup dalam kemelaratan materi.
Karena
itu, bagi Kuntowijoyo, Islam tidak mengenal kelas-kelas sosial. Meskipun
begitu, para sarjana Islam boleh saja memakai analisis kelas sosial untuk
membahas jalinan kepentingan di tengah masyarakat.
Secara
tegas, Islam juga menolak konsep pertentangan kelas. Paradigma pengilmuan Islam
yang digagas Kuntowijoyo menghimpun dari Alquran pelbagai konsep.
Sebagai
contoh, konsep dhu’afa dan mustadh’afin. Kuntowijoyo mengartikan masing-masing
sebagai 'orang kecil' dan 'orang teraniaya.' Lihat misalnya surah al-Baqarah
ayat 266 dan surat an-Nisa ayat 75.
Menurut
guru besar Ilmu Sejarah UGM itu, Alquran memakai kata dhu’afa untuk
menggambarkan kesenjangan natural yakni kemiskinan. Sementara itu, kata
mustadh’afin untuk menunjukkan adanya kesenjangan struktural.
Untuk
mengatasi kesenjangan natural, lanjut dia, Islam memiliki cara-cara. Misalnya,
zakat, infak, dan sedekah. Ketiganya juga berfungsi untuk membuka mobilitas
sosial. Kesenjangan natural pun dapat diatasi tanpa peran langsung negara
(penguasa politik).
Sebaliknya,
kesenjangan struktural memerlukan penguasa politik alias negara turun tangan.
- - - - - - - - - -
Pertanyaannya:
apakah dalam Islam ukuran kemajuan ditentukan hitung-hitungan materiil?
Misalnya, berkurangnya jumlah orang kecil dan orang teraniaya? Ternyata, tidak
serta-merta begitu.
Kuntowijoyo
mengutip Alquran surah al-Ahzab ayat 22. Firman Allah SWT itu menegaskan,
ukuran kemajuan adalah bertambahnya iman. Terjemahannya, “Dan benarlah Allah
dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali
iman dan ketundukan.”
Maka
segala hal di luar keimanan merupakan urusan yang dianggap perlu, tetapi bukan
esensial demi kemajuan.
Kembali
ke soal pertentangan kelas. Penindasan atas kaum buruh itu masuk dalam konteks
kesenjangan struktural. Artinya, korbannya adalah mustadh’afin.
Mengikuti
logika Kuntowijoyo, misi politik yang islami dapat dijalankan untuk
menghadirkan solusi atas kesenjangan struktural. Solusi itu tak mesti hirau,
apakah orang-orang teraniaya (mustadh’afin) itu terdapat di kelas buruh atau
kelas borjuis. (Tentu saja biasanya terdapat di kelas buruh.)
Dengan
pengilmuan Islam, perjuangan pembebasan kaum teraniaya tak mesti menyuguhkan
adegan pertentangan frontal. Fokusnya bukan satu kubu melenyapkan kubu yang
lain, melainkan pembenahan sistemik yang menyeluruh supaya muncul aturan main
yang adil bagi semua.
Dalam
hal kapitalisme, misalnya, barangkali satu pertanyaan awalnya adalah: apakah
sistem moneter kini, yang bertumpu pada uang kertas, sudah adil? Intinya,
jangan sampai ada pihak, siapapun itu, yang seolah-olah berlegitimasi untuk
menciptakan kekayaan tanpa kerja alias dari ketiadaan (out of thin air).
Inilah, barangkali, mengapa Islam mewanti-wanti bahwa riba diharamkan dan
jual-beli itu halal.
Baca juga: Agar Giat Bekerja
Sumber: Republika
Artikel lainnya: Jurnal Islampedia